Minggu, 18 Desember 2011

SYUHADA CINTA



“Barangsiapa jatuh cinta, lalu menyembunyikan cintanya, menahan diri, bersabar lalu meninggal dunia maka ia mati syahid”

Ungkapan Rasulullah SAW ini diriwayatkan oleh Suwaid bin Sa’id Al-Hadatsani, walau sejatinya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dalam risalahnya Raudhatul Muhibbin menyatakan ini sebagai hadits maudhu dan mauquf. Alasannya simpel, berdasar riwayat shahih, penjelasan Rasulullah tentang macam kesyahidan tidak pernah memasukkah dan menyebutkan sebab matinya karena jatuh cinta itu syahid. Ibnul Qoyyim mengutip hadits ini ke dalam pembahasan yang sangat indah tentang para pemuja cinta.
Namun, bila urutannya adalah jika cinta itu menjadi spirit, ia sembunyikan dengan penyembunyian yang melahirkan potensi-potensi kesalehan, ia menahan diri tidak terjerembab dalam kecintaan syahwati, geloranya ia bingkai dengan ketinggian kecintaan pada Sang Pemiliki Cinta, Al-Waduud. Lalu ia bersabar, iffah, menjaga diri dari kecintaan pada penghambaan makhluq, ia serahkan segala energi cintanya hanya untuk Allah semata. Penggambaran-penggambaran manisnya cintanya itu ia tumpahkan segalanya untuk Sang Khaliq. Lalu ia terkubur dalam timbunan-timbunan mahabbah, ia rasakan kelezatannya dalam penghambaan, lalu sampai di ujung umurnya hingga mati. Ia syahid.

Lihatlah kisah ini, kisah romantika dua manusia, dimabuk cinta. Seorang laki-laki ahli ibadah, pemuda Kuffi, cintanya menghampiri gadis cantik nan elok. Cintanya berbalas. Gadis itu sama cintanya. Bahkan ketika lamaran sang pemuda ditolak karena sang gadis telah dijodohkan dengan saudara sepupunya, mereka tetap nekad, ternyata.
Gadis itu bahkan menggodanya, “Sayang, aku akan datang padamu atau kuatur cara supaya kamu bisa menyelinap ke rumahku”. Gadis itu menghamparkan selendang syahwatnya.
“Tidak! Aku menolak kedua pilihan itu. Aku takut pada neraka yang nyalanya tak pernah padam !”  Itu jawaban sang pemuda yang menghentak sang gadis. Pemuda itu menjaga diri dan memenangkan iman atas syahwatnya dengan kekuatan cinta.
“Jadi dia masih takut pada Allah?”  gumam sang gadis.

Seketika ia tersadar dan dunia tiba-tiba jadi kerdil di matanya. Ia pun bertaubat dan kemudian mewakafkan dirinya untuk ibadah. Ia tenggelam dalam keseluruhan cintanya pada Al-Waduud. Walau cintanya pada sang pemuda tidak mati. Cintanya berubah jadi rindu yang mengelana dalam jiwa dan doa-doanya. Tubuhnya luluh lantak didera rindu. Ia terkubur oleh kerinduan, penggambaran kerinduannya ia arahkan pada buncahan kerinduan untuk Tuhannya. Sampai la mati, akhirnya.

Sang pemuda terhenyak. Itu mimpi buruk. Gadisnya telah pergi membawa semua cintanya. Maka kuburan sang gadislah tempat ia mencurahkan rindu dan do’a-do’anya. Sampai suatu saat ia tertidur di atas kuburan gadisnya. Tiba-tiba sang gadis hadir dalam tidurnya. Cantik. Sangat cantik jelita.
“Apa kabar? Bagaimana keadaanmu setelah kepergianku,”  tanya sang gadis.
“Baik-baik saja. Kamu sendiri di sana bagaimana?”  jawabnya sambil balik bertanya.
“Aku di sini dalam surga abadi, dalam nikmat dan hidup tanpa akhir,”  jawab gadisnya.
“Doakan aku. Jangan pernah lupa padaku. Aku selalu ingat padamu. Kapan aku bisa bertemu denganmu?”  tanya sang pemuda lagi.

“Aku juga tidak pernah lupa padamu. Aku selalu berdoa agar Allah menyatukan kita di surga. Teruslah beribadah. Sebentar lagi kamu akan menyusulku,”  jawab sang gadis.

Hanya tujuh malam setelah mimpi itu, sang pemuda pun menemui ajalnya. Dalam hujaman kecintaan kepada Rabbnya.


Ustadz Anis Matta mengomentari kisah ini dengan ungkapan:  
“Atas nama cinta ia memenangkan Allah atas dirinya sendiri, memenangkan iman atas syahwatnya sendiri. Atas nama cinta pula Allah mempertemukan mereka. Cinta selalu bekerja dengan cara itu”. Subhanallah...

Tak ada yang dapat menafikan. Ia mati dalam seindah kematian. Energi cintanya mewariskan pengorbanan tulus.
Seperti kecintaannya sendiri terhadap kematian. Ada seribu satu kisah romantika anak manusia. Ada kisah dengan gadis cantik jelita. Ada pula kisah dengan pesona dirinya. Sama-sama pemuda. Fathi Farhat namanya. Awalnya ia mencintai dirinya, mencintai ibunya, mencintai kemulyaannya, mencintai tanahnya, keluarganya bahkan negaranya. Namun geloranya tak berhenti pada kecintaan yang absurt, ada rongga yang nampak jelas bahwa tujuan cintanya itu ia wujudkan dengan keinginannya untuk merdeka, merdeka dari penindasan yang telah mengoyak-ngoyak symbol ketauhidannya. Sang Khaliq telah memerdekakannya dari segala belenggu. Ia menyimpan cintanya menjadi gunungan-gunungan mahabbah menuju cita-citanya beriring bersamna kafilah para syuhada’. Ia bersabar bagai antrian syuhada’. Menyusuli para qiyadahnya, yang rindu bersalam jumpa, rindu dengan penyapaan penjaga pintu surge, dengan penyapaan salaamun alaikum thibtum fadhuluuhaa, khaalidin (selamat atas kalian, dan segeralah masuk ke dalam surga dengan kekal).
Gambaran surga itulah yang mampu mengokohkan kecintaan dan kerinduannya pada kenikmatan yang abadi walau ditebus dengan kematian. Sama nikmat kematiannya walau ditempuh dengan derita yang sekejap saja. Ia bersabar, menunggu antrian saat terindah menjemput kematian.


We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight (Michael Heart, We Will Not Go Down)

Senandung cinta. Yang menggelorakan. Menghidupkan. Spirit yang tak pernah mati. Akan selalu hidup. Penuh mu’jizat kenabian. Cintanya menjadi pengokoh. Membangunkan spiritnya untuk tidak pernah menyerah. But our spirit will never die. Kelak takdir menghampirinya bahwa kemenangan akan datang untuknya walau dengan washilah ‘perantara’ batu-batu yang menghujam musuh-musuhnya. Ini kisah yang membangkitkan, kisah cinta. Bila dua kisah ini adalah kisah kesabaran dan kesadaran untuk bersandar pada Sang Pemilik Cinta. Maka kematiannya yang dicintainya menjadi jalan menuju kesyahidan.


 Dan, seperti itulah cinta bekerja.

Judul: SYUHADA CINTA
Rating: 100% based on 99998 ratings. 4.5 user reviews.
By Unknown
Terimakasih Atas Kunjungan Sahabat... Silahkan tulis kritik dan saran di kotak komentar
Barakallahu Fiikum