Sabtu, 29 Maret 2014

JANGAN GALAU, ALLAH BERSAMA KITA

http://annangws.blogspot.com/2014/03/jangan-galau-allah-bersama-kita.html
Saat hati dilanda kegelisahan,  Allah-lah sebaik-baik tempat mengadu
Saat diri ditimpa kesulitan, Allah-lah sebaik-baik tempat meminta pertolongan
Saat logika goyah karena ketidak pastian, Janji Allah sebaik-baiknya kepastian
Saat jiwa diterpa kesedihan, Allah -lah sebaik- baik pelipur kesedihan
Maka,Saat hidup ini dihujani kebahagiaan, Allah-lah sebaik -baik tempat bersyukur...

“Galau!!!” merupakan sebuah kata-kata yang sedang naik daun, di mana kata-kata itu menandakan seseorang tengah dilanda rasa kegelisahan, kecemasan, serta kesedihan pada jiwanya. Tak hanya laku di facebook atau twitter saja, bahkan di media televisi pun orang-orang seakan-akan dicekoki dengan kata-kata “galau” tersebut.

Pada dasarnya, manusia adalah sesosok makhluk yang paling sering dilanda kecemasan. Ketika seseorang dihadapkan pada suatu masalah, sedangkan dirinya belum atau tidak siap dalam menghadapinya, tentu jiwa dan pikirannya akan menjadi guncang dan perkara tersebut sudahlah menjadi fitrah bagi setiap insan.

Jangan Galau, Innallaha Ma’ana!!!

Allah Ta’ala berfirman, “Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kami” (At Taubah: 40)

Mengingat bahwa manusia adalah makhluk yang banyak sekali dalam mengeluh, tentu ketika keluhan itu diadukan kepada Sang Maha Pencipta, maka semua itu akan meringankan beban berat yang selama ini kita derita. Allah sudah mengingatkan hamba-Nya di dalam ayat yang dibaca setiap muslim minimal 17 kali dalam sehari:

“Hanya kepada-Mulah kami menyembah, dan hanya kepada-Mulah kami meminta pertolongan” (Al Fatihah 5).

Jagalah Positive thinking atau berpikir positif, perkara tersebut sangatlah membantu manusia dalam mengatasi rasa galau yang sedang menghinggapinya. Karena dengan berpikir positif, maka segala bentuk-bentuk kesukaran dan beban yang ada pada dalam diri menjadi terobati karena adanya sikap bahwa segala yang kesusahan-kesusahan yang dihadapi, pastilah mempunyai jalan yang lebih baik yang sudah ditetapkan oleh Allah Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya;

“Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (Al-Insyirah 5-6).

Orang yang senantiasa mengingat Allah Ta’ala dalam segala hal yang dikerjakan. Tentunya akan menjadikan nilai positif bagi dirinya, terutama dalam jiwanya. Karena dengan mengingat Allah segala persoalan yang dihadapi, maka jiwa akan menghadapinya lebih tenang. Sehingga rasa galau yang ada dalam diri bisa perlahan-perlahan dihilangkan. Dan sudah merupakan janji Allah Ta’ala, bagi siapa saja yang mengingatnya, maka didalam hatinya pastilah terisi dengan ketenteraman-ketenteraman yang tidak bisa didapatkan melainkan hanya dengan mengingat-Nya. Sebagaimana firman-Nya:

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah lah hati menjadi tenteram” (Ar-Ra’du 28).

Berbeda dengan orang-orang yang lalai kepada Allah, yang di mana jiwa-jiwa mereka hanya terisi dengan rasa kegelisahan, galau, serta kecemasan semata. Tanpa ada sama sekali yang bisa menenangkan jiwa-Nya.

Tentunya, sesudah mengetahui tentang faktor-faktor yang dapat mengatasi persoalan galau, maka jadilah orang yang selalu dekat kepada Allah Ta’ala. Bersabar, berpikir positif, mengingat Allah, serta mengadukan semua persoalan kepada-Nya merupakan kunci dari segala persoalan yang sedang dihadapi. Maka dari itu, Janganlah galau, karena sesungguhnya Allah bersama kita

Semoga Bermanfaat...

Rabu, 12 Maret 2014

Ketenangan Hidup

http://annangws.blogspot.com/2014/03/ketenangan-hidup.html
lmu fisika, biologi, falak, dan kimia telah menunjukan kepada kita bahwa dunia diciptakan dengan aturan-aturan dan ukuran-ukuran yang rapi. Tidak ada tempat bagi sesuatu yang terjadi secara kebetulan, semua berjalan mengikuti hukum-hukum yang telah Allah ciptakan di alam semesta ini.

“… dan, Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS Al Furqaan:2)

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (QS Al Qamar:49)

Dan, tentu saja Allah menciptakan semua ini bukan tanpa tujuan. Tidak mungkin tanpa tujuan. Pasti, akan selalu ada hikmah di balik semua penciptaan ini.Namun, keyakinan akan semua hikmah ini, bukan berarti kita akan mengetahuinya. Karena keterbatasan ilmu manusia, bisa saja hikmah-hikmah itu masih tersembunyi, tidak terungkap oleh pandangan manusia yang terbatas ini.

“… mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. ” (QS. An Nisaa’:19)

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah:216)

Dan, saya yakin bahwa keterbatasan ini pun memberikan hikmah yang luar biasa bagi kehidupan manusia. Tidak semuanya harus ada jawaban, yang perlu kita yakini adalah semuanya demi kebaikan kita. Dalilnya sudah jelas dan sudah kita hafal bahwa Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Kadang kita berusaha keras, namun hasil seolah tidak kunjung datang. Saya kata seolah sebab itu hanyalah pandangan kita yang terbatas. Strategi, taktik, dan rencana matang tidak selamanya akan menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan keinginan kita. Bisa jadi, Allah telah menyiapkan yang lain yang pastinya akan lebih baik dari itu.

“… Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” (QS Ath Thalaaq:1)

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam. (At Takwir:29)

Jika saya berikhtiar itu semata-mata karena memenuhi perintah Allah. Manusia hanya berusaha, sedangkan Allah yang menentukan akibat dan hasilnya. Dan saya merasa yakin bahwa akibat dan hasil yang dipilihkan Allah bagi saya adalah yang terbaik bagi saya.

Jika demikian, mengapa kita harus takut dan khawatir dalam menjalani hidup? Bukankah semuanya untuk kebaikan kita sendiri. Pahit mungkin terasa pahit yang kita alami. Kita tidak menyukai. Kita membencinya. Padahal boleh jadi itu yang terbaik bagi kita.

Ya Allah, ampunilah hamba-Mu ini. Yang sering mengeluh dengan pemberian-Mu. Yang sering lupa bahwa Engkau memberikan yang terbaik.

Mudah-mudahan, mulai detik ini saya merasa tentram terhadap rahmat Allah, keadilan-Nya, kebijaksanaan-Nya, dan ilmu-Nya. Hidup yang lebih tenang karena “melihat” peran Allah dalam setiap peristiwa dan setiap urusan. Hidup yang tenang, karena hidup dalam lindungan dan pemeliharaan Allah.

Semoga Bermanfaat...



Senin, 10 Maret 2014

Anak Yatim Dan Hak Menerima Zakat

http://annangws.blogspot.com/2014/03/anak-yatim-dan-hak-menerima-zakat.html
Bismillahirrahmaanirrahiim.

Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin, was shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in. Amma ba’du.

Alhamdulillah, di masa dewasa ini kesadaran Ummat Islam untuk membayar Zakat semakin baik. Hal itu ditunjukkan dengan bukti semakin banyaknya jumlah Muzakki yang ingin menyalurkan Zakat, Infaq, Shadaqah (ZIS). Juga semakin banyaknya pertanyaan-pertanyaan seputar Zakat, semakin tumbuh lembaga-lembaga pengumpul dana ZIS, serta semakin beragamnya bentuk-bentuk pembiayaan melalui dana ZIS. Semua ini merupakan realitas yang patut disyukuri, alhamdulillah.

Di sebagian tempat, ada lembaga sosial yang memanfaatkan dana ZIS untuk menyantuni anak-anak yatim. Dana ini disalurkan dalam bentuk beasiswa sekolah, santunan sosial, dll. yang berkaitan dengan pemberdayaan anak-anak yatim kaum Muslimin. Namun kemudian muncul pemikiran kritis, “Dana Zakat tidak bisa diberikan untuk anak yatim, karena dalam Surat At Taubah ayat 60, tentang 8 golongan yang berhak menerima Zakat; disana tidak disebutkan anak yatim sebagai penerima Zakat.”

Pertanyaanya, benarkah anak yatim tidak boleh menerima Zakat? Bagaimana pandangan Islam tentang posisi anak yatim sebagai penerima Zakat?
Bolehkah memanfaatkan dana Zakat untuk menyantuni, membina, dan memberdayakan anak yatim?

Disini kita akan coba membahas masalah ini secara runut, dengan merujuk pandangan Al Qur’an, As Sunnah, dan pandangan para ulama. Semoga Allah Ta’ala memberikan petunjuk, penerangan, serta barakah dari ilmu dan harta kita. Allahumma amin.

[1]. Dalam Surat At Taubah disebutkan ayat, yang artinya: “Bahwasanya Zakat itu diperuntukkan bagi kaum fakir, miskin, ‘amil Zakat (petugas pengurus Zakat), orang-orang yang dibujuk hatinya (atau muallaf), hamba sahaya, orang yang menanggung hutang, untuk keperluan Fi Sabilillah, dan para musafir yang berada dalam perjalanan. Hal demikian ini merupakan ketetapan yang wajib dari sisi Allah.” (At Taubah: 60). Inilah ayat yang dijadikan dalil, bahwa para penerima Zakat itu adalah 8 golongan. Haji Sulaiman Rasyid membahas golongan-golongan ini dalam bukunya, Fiqh Islam hal. 200-205. Terbitan Sinar Baru, Bandung, 1987).

[2]. Zakat merupakan bagian dari Rukun Islam dan merupakan amanah Syariat Islam yang agung. Zakat sering disebutkan dalam Al Qur’an. Kita sering membaca ayat yang berbunyi kurang-lebih,

“Aqimus shalah wa atuz zakah” (dirikan Shalat dan bayarlah Zakat);

“Wa yuqimus shalata wa yu’tuz zakata” (dan dia mengerjakan Shalat dan membayar Zakat).

Dengan demikian, kita harus bersungguh-sungguh dalam menunaikan amal Zakat ini. Salah satu bentuk kesungguhan ialah, harta dari Zakat harus diberikan kepada para Mustahik (penerima Zakat) secara tepat, tidak boleh dibelanjakan untuk hal-hal di luar hak Mustahik.

Profesor Ali Tanthawi rahimahullah, seorang ulama ahli fiqih dan dai terkenal dari Syiria. Beliau pernah ditanya tentang dana Zakat yang dikumpulkan oleh suatu lembaga Islam, lalu digunakan untuk mndirikan tempat pelatihan menjahit bagi anak-anak perempuan Muslim. Dalam jawabannya, beliau tidak membenarkan ide itu. Beliau berkata, “Jadi, harta Zakat tidak boleh dipergunakan untuk membangun masjid, rumah sakit, atau tempat pelatihan, meski semua itu membawa manfaat bagi masyarakat dan masyarakat jelas-jelas membutuhkannya.” Kecuali, kata beliau, kalau Zakat itu sudah dibagikan ke fakir-miskin, lalu mereka sepakat mengumpulkan kembali harta itu untuk membangun pelatihan; maka yang seperti itu dibenarkan. (Fatwa-fatwa Populer Ali Thantawi, hal. 291-292. Solo, Penerbit Era Intermedia, November 1998). Pandangan seperti ini sangat berharga, karena menunjukkan sikap kehati-hatian (al ikhtiyat) dalam menjaga batas-batas hukum Islam.

[3]. Zakat dalam Islam terbagi dalam dua jenis, Zakat Maal (Zakat harta) dan Zakat Fithrah (Zakat jiwa). Zakat Maal diwajibkan bagi setiap Muslim yang memiliki kelebihan harta sehingga mencapai nishab, baik berupa harta pertanian, peternakan, perdagangan, emas-perak, usaha bisnis, dan lainnya yang wajib dizakati. Singkat kata, Zakat maal diwajibkan atas kaum Muslimin yang kaya. Sedangkan Zakat Fithrah diwajibkan atas seluruh kaum Muslimin, baik kaya atau miskin, baik orang dewasa atau anak-anak, baik laki-laki maupun wanita. Harta Zakat Maal disalurkan kepada 8 kelompok penerima Zakat, seperti disebut dalam Surat At Taubah ayat 60 di atas. Adapun Zakat Fithrah disalurkan hanya kepada fakir-miskin, dalam rangka menyambut Hari Raya ‘Ied.

Jadi Zakat Fithrah tidak boleh diberikan ke kelompok di luar fakir-miskin. Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah mengatakan, “Di antara tuntunan Rasulullah adalah mengkhususkan kepada kaum miskin dalam peruntukan Zakat ini (maksudnya, Zakat Fithrah). Beliau tidak membagikannya kepada 8 golongan (ashnaf) secara rata dan tidak pula memerintahkan hal itu. Juga tak seorang pun di antara Shahabat-shahabatnya (maksudnya, Shahabat Nabi) yang melakukannya, serta tidak pula orang-orang sesudah mereka (maksudnya kalangan Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in).” (Zaadul Ma’ad, jilid I, hal. 504. Jakarta, Pustaka Al Kautsar, Februari 2008).

Dengan demikian, kita harus bisa membedakan antara Zakat Fithrah dan Zakat Maal. Zakat Fithrah diwajibkan bagi setiap Muslim, termasuk fakir-miskin; kecuali jika seseorang benar-benar tidak memiliki harta untuk membayar Zakat Fithrah, maka hal itu dimaafkan. Dan Zakat Fithrah disalurkan hanya untuk fakir-miskin, di saat menjelang perayaan Hari Raya ‘Ied. Sedangkan Zakat Maal diwajibkan bagi kaum Muslim yang kaya, dan hasilnya dibagikan untuk 8 kelompok sosial.

[4]. Ajaran Islam memberikan perhatian yang tinggi kepada anak YATIM. Banyak ayat-ayat Al Qur’an yang membahas posisi anak yatim ini. Dalam Al Qur’an disebutkan bentuk amal kebajikan, yaitu:

“Wa atal maala ‘ala hubbihi dzawil qurba, wal yatama, wal masakini, wabnas sabili, was sa’ilina, wa fir riqaab” (dan memberikan harta itu kepada orang-orang yang dicintai dari karib-kerabat, kepada anak yatim, kepada kaum miskin, kepada musafir di perjalanan, kepada orang yang meminta-minta, dan kepada hamba sahaya. Surat Al Baqarah, ayat 177).

“Wa yas-alunaka ‘anil yatama, qul ish-lahul lahum khairun” (dan mereka bertanya kepada tentang anak yatim, katakanlah: memperbaiki urusan mereka adalah lebih baik. Surat Al Baqarah, ayat 220).

“Wa an taqumu lil yatama bil qis-thi” (dan –Allah memerintahkan- agar kalian memperlakukan anak yatim secara adil. Surat An Nisaa’, ayat 127).

Bahkan dalam Surat Al Hasyr ayat 7 disebutkan, bahwa harta fa’i (rampasan dari musuh tanpa peperangan) diberikan kepada: Allah, Rasul-Nya, karib-kerabat, anak yatim, kaum miskin, dan ibnu sabil (musafir dalam perjalanan); dalam ayat itu juga dijelaskan bahwa pembagian ini dimaksudkan agar harta tidak hanya beredar pada orang-orang kaya di kalangan Ummat Islam saja.

Dalam Surat An Nisaa’ ayat 10 disebutkan, orang-orang yang makan harta anak yatim secara zhalim, maka dia telah memenuhi perutnya dengan api neraka, dan kelak mereka akan masuk neraka sa’iir.

Dalam Surat Al Fajr disebutkan, “Kalla bal laa tukrimunal yatim, wa laa tahad-dhuna ‘ala tha-amil miskin” (sungguh tidak demikian, akan tetapi kalian tidak memuliakan anak yatim dan tidak menganjurkan manusia memberi makan orang miskin. Surat Al Fajr, ayat 17-18).

Dan sudah sangat dikenal, dalam Surat Al Ma’uun ayat 1-3, bahwa ciri pendusta agama adalah: menghardik anak yatim dan tidak memberi makan orang miskin.

Imam Nawawi rahimahullah, dalam kitabnya yang terkenal, Riyadhus Shalihin menyebutkan sebuah bab tentang keutamaan bersikap lembut kepada anak yatim, kepada anak-anak perempuan, kaum fakir-miskin, dan sebagainya. Beliau menyebut hadits Nabi Saw, yang artinya:

“Dari Sahal bin Sa’id Ra, dia berkata bahwa Rasulullah Saw telah bersabda, ‘Aku dan orang yang menanggung kehidupan anak yatim, kelak di syurga akan seperti ini,’ beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah beliau yang saling ditempelkan.” (HR. Bukhari).

Kata Imam Nawawi, yang menanggung anak yatim maksudnya, mengurus keperluan-keperluan mereka secara baik. (Riyadhus Shalihin, hal. 66. Beirut, Daarul Fikri, 1994).

Dapat disimpulkan, bahwa Islam sangat peduli dan pengasih kepada anak yatim, baik laki-laki maupun wanita, baik yang kaya maupun fakir-miskin. Rasulullah Saw adalah seorang yatim.

[5]. Lalu pertanyaannya, siapakah anak yatim itu?
Secara umum, anak yatim adalah anak yang telah ditinggal wafat oleh ayahnya. Kalau ditinggal wafat oleh ibunya, tidak disebut anak yatim. Anak yatim termasuk golongan manusia yang lemah karena telah kehilangan pilar keluarga (qa’imul bait).

Ketika menjelaskan istilah anak yatim, Syaikh Abdurrahman As Sa’diy rahimahullah, dalam tafsirnya mengatakan, “Anak yatim adalah mereka yang tidak memiliki penghasilan, dan mereka tidak memiliki kekuatan yang bisa menanggung kebutuhannya. Hal ini merupakan bukti rahmat Allah atas hamba-hamba-Nya, menjadi dalil bahwa Allah Ta’ala lebih pengasih kepada mereka daripada orangtua kepada anak-anaknya. Allah telah berwasiat kepada hamba-Nya dan mewajibkan sikap ihsan dalam urusan harta anak yatim, agar siapa yang telah kehilangan ayah-ayahnya, mereka diurus sedemikian rupa sehingga seperti tidak kehilangan mereka. Dan balasan atas amal seperti ini, maka siapa yang pengasih kepada anak yatim, maka anaknya akan dikasihi.” (Tafsir Karimir Rahman, hal. 76. Riyadh, Daarul Mughni, 1999).

Ketika menafsirkan ayat yang sama, Imam Ibnu Katsir rahimahullah memberi penjelasan, “Anak yatim adalah mereka yang tidak memiliki penghasilan, telah wafat ayah mereka, sedangkan mereka dalam keadaan lemah, masih kecil, belum mencapai baligh, dan belum punya kemantapan dalam pekerjaan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim li Imam Ibnu Katsir, Jilid I, hal. 270. Takhrij hadits oleh Syaikh Hani Al Hajj. Kairo, Maktabah Taufiqiyyah, tanpa tahun).

Jadi, anak yatim adalah anak yang telah ditinggal wafat oleh ayahnya, lalu dia kehilangan pilar keluarga yang menanggung dan mengurus kehidupannya.

[6]. Kemudian, sejauhmana batasan seorang anak disebut yatim?
Sebab semua orang lambat atau cepat pasti akan ditinggal wafat oleh ayahnya. Apakah orang dewasa yang sudah berusia 40 tahun, lalu ditinggal wafat ayahnya, dia juga disebut yatim?

Dalam Al Qur’an disebutkan ayat yang berbunyi, “Wab-talul yatama hatta idza balaghuu an nikah, fa in anastum minhum rusy-dan fad-fa’uu ilaihim amwalahum” (dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka mencapai usia nikah, dan jika menurut perkiraan kalian mereka sudah cerdas, maka kembalikanlah harta mereka –yang selama ini dititipkan kepada kalian -. Surat An Nisaa’, ayat 6).

Imam Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat ini beliau berkata, “Menurut Mujahid, telah sampai usia nikah, maksudnya telah bermimpi (keluar sperma saat tidur).

Mayoritas ulama mengatakan, mencapai usia baligh pada anak laki-laki ialah ketika dia bermimpi dalam tidurnya, sehingga keluar sperma. Atau telah mencapai usia 15 tahun, berdasarkan hadits dari Abdullah bin Umar Ra, bahwa dia berkata, ‘Aku menghadap Nabi Saw dalam perang Uhud, ketika itu usiaku 14 tahun, lalu Nabi tidak mengijinkanku ikut perang. Kemudian aku menghadap beliau dalam perang Khandaq, ketika usiaku 15 tahun, lalu beliau membolehkan aku.’ (HR. Bukhari-Muslim).

Berkata Umar bin Abdul Aziz rahimahullah ketika disampaikan kepadanya hadits ini, “Perkara ini (usia 15 tahun) merupakan pembeda antara anak kecil dan orang dewasa.” (Tafsir Ibnu Katsir, jilid I, hal. 153. Kairo, Maktabah Taufiqiyyah).

Ketika menjelaskan Surat An Nisaa’ ayat 6 di atas, tentang batasan telah mencapai usia nikah, berkata Sa’id bin Jubair Ra, “Telah menjadi shalih dalam urusan agama mereka, dan pandai menjaga hartanya.” Singkat kata, batasan anak yatim laki-laki ialah ketika sudah mencapai baligh, yaitu telah keluar sperma dari kemaluannya. Atau sudah mencapai usia 15 tahun. Adapun batasan anak yatim perempuan, ialah ketika dia sudah siap menikah, yaitu telah siap dari sisi kematangan agama dan siap mengatur hartanya sendiri. Hal ini sesuai konteks Surat An Nisaa’ ayat 1-10 yang memang membahas posisi anak yatim perempuan.

[7]. Pertanyaan intinya, apakah anak yatim berhak mendapatkan bagian dari Zakat?
Maka sebelum dijawab pertanyaan ini, terlebih dulu harus dilihat keadaan anak yatim tersebut. Apakah dia termasuk anak yatim yang ditinggali banyak harta warisan oleh ayahnya, sehingga dengan harta itu bisa tercukupi kebutuhan materinya?
Atau dia termasuk anak yatim yang fakir, miskin, muallaf, dalam perjalanan, menanggung hutang, dll. sesuai kriteria 8 kelompok penerima Zakat?
Kalau dia termasuk anak yatim yang berkecukupan materi, tidak perlu diberi Zakat. Tetapi kalau dia termasuk anak yatim yang masuk 8 golongan penerima Zakat, SANGAT AFDHAL kalau mereka diberi bagian Zakat. Karena selain dia masuk 8 golongan, dia juga yatim. Perlakuan seperti ini ditujukan ialah untuk menyalurkan Zakat sesuai dengan sasaran yang dituju. Kita jangan menyalurkan Zakat kepada yang tidak berhak menerima; atau sebaliknya, menolak memberikan Zakat kepada sasaran yang justru sangat berhak menerima.

Dalam Al Qur’an, “Innallaha ya’murukum an tu-addul amanati ila ahliha, wa idza hakamtum bainan naasi antahkumu bil ‘adl” (sesungguhnya Allah memerintahkan kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak, dan jika kalian menghukumi, hendaklah menghukumi secara adil. Surat An Nisaa’, ayat 58).

Terkait pembagian Zakat ini, seorang ulama besar di Timur Tengah, Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan berkata, “Tidak boleh menetapkan Zakat kepada seorang wanita fakir, jika dia berada di bawah pembiayaan nafkah suaminya yang kaya; begitu juga tidak boleh diberikan Zakat kepada seorang fakir, kalau dia memiliki kerabat kaya yang memberi nafkah kepadanya; dimana mereka diberi kekayaan lewat nafkah itu daripada harus mengambil harta Zakat.” (Mulakhas Fiqhiy, jilid I, hal. 254. Riyadh, Daaru Ibnil Jauzi, tahun 2000).

Menyimpulkan dari pendapat ini, maka anak yatim yang mewarisi banyak harta dari orangtuanya, atau dia berada dalam sebaik-baik pemeliharaan nafkah oleh kerabatnya, anak seperti itu tidak perlu menerima bagian dari Zakat.

[8]. Ada beberapa hadits Nabi Saw yang menjelaskan, bahwa anak-anak yatim berhak menerima bagian dari Zakat. Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri Ra, dia berkata, “Zainab Ra, isteri Ibnu Mas’ud Ra, datang kepada Nabi Saw, lalu bertanya, ‘Ya Rasulullah, engkau telah memerintahkan pada hari ini untuk bersedekah. Di sisiku ada beberapa perhiasan, milikku. Aku berniat bersedekah dengannya. Namun Ibnu Mas’ud (suami Zainab) menyatakan, bahwa dia dan putranya lebih berhak menerima sedekah itu dariku.’ Lalu Nabi Saw berkata, ‘Ibnu Mas’ud benar. Suamimu dan anakmu lebih berhak engkau bersedekah kepada mereka.’” (HR. Bukhari).

Hadits ini disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab beliau, Bulughul Maram, bagian Kitab Zakat, no. 515. Hadits ini memberi hikmah, seorang isteri boleh bersedekah kepada keluarganya sendiri, jika mereka membutuhkan harta. Adapun seorang suami tidak boleh bersedekah kepada isterinya, sebab sudah MENJADI KEWAJIBAN bagi suami itu untuk menafkahi isteri dan anak-anaknya.

Dalam hadits lain yang cukup panjang, Zainab Ra isteri Ibnu Mas’ud Ra, bermaksud memberikan sedekah. Lalu dia pergi ke rumah Rasulullah Saw. Kebetulan di rumah beliau sedang ada wanita yang ingin bertanya hal yang sama. Melalui Bilal Ra, Zainab dan wanita itu bertanya, “Atuj-ziu as shadaqah ‘anhuma ila azwajihima wa ‘ala aitamin fi hujurihima?” (bolehkah sedekah dari kedua wanita itu diberikan kepada suaminya atau anak yatim yang ada di rumahnya?). Maka kemudian Nabi Saw memberi jawaban, “Lahuma ajran, ajrul qarabah, wa ajrus shadaqah” (bagi kedua wanita itu dua pahala, pahala berbuat baik kepada keluarda terdekat, dan pahala sedekah). Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari-Muslim, disebutkan oleh Imam Al Munzhiri dalam Mukhtashar Shahih Muslim.

Untuk memperjelas lagi, Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan berkata, “Dan di kitab As Shahih, disebutkan bahwa isteri Abdullah (maksudnya, Abdullah bin Mas’ud atau Ibnu Mas’ud Ra –pen.) bertanya kepada Nabi Saw, tentang anak saudaranya yang menjadi yatim dan hidup di rumahnya, apakah boleh memberikan zakat dia ke mereka? Lalu Nabi Saw menjawab, “Ya!”

Kalau diperhatikan, hadits-hadits di atas saling berkaitan satu sama lain, saling melengkapi. Bisa jadi, kejadiannya satu, tetapi yang menceritakan berbeda-beda. Singkat kata, memberikan Zakat kepada anak-anak yatim yang membutuhkan, hal itu diperbolehkan oleh Nabi Saw. Termasuk anak yatim yang berada dalam pemeliharaan sebuah keluarga, boleh diberi Zakat oleh karib-kerabatnya.

[9]. Secara umum, ajaran Islam sangat peduli dengan nasib anak yatim, laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin. Jika anak yatim itu miskin, fakir, muallaf, dan sebagainya sehingga masuk kategori 8 kelompok yang berhak menerima Zakat; mereka sangat diutamakan untuk menerima Zakat. Namun jika mereka tergolong anak yatim yang kaya, berkecukupan, mendapat nafkah yang memadai dari kerabatnya, tetap berhak mendapat kemurahan dari kaum Muslimin. Tetapi bentuknya bukan materi, melainkan perhatian, kasih-sayang, kelembutan, serta perlindungan.

Hal ini untuk merealisasikan sabda Nabi Saw, “Ana wa kafilul yatama fil jannah” (aku dan pemelihara anak yatim kelak berada –sangat dekat- di syurga. HR. Bukhari).

[10]. Lalu bagaimana dengan lembaga sosial Islam yang memanfaatkan dana Zakat untuk membangun sekolah, pesantren, panti asuhan, atau fasilitas pelatihan, yang semua itu diperuntukkan bagi anak-anak yatim?
Jawabannya mudah, seperti yang dikatakan Syaikh Prof. Ali Tanthawi rahimahullah, dana Zakat tidak boleh dibuat untuk semua keperluan itu. Dana Zakat harus disalurkan kepada yang berhak, tidak boleh dibuat macam-macam. Kecuali, kalau dana sudah diserahkan, lalu orang-orang yang menerima Zakat itu sepakat untuk menggunakannya demi membangun sekolah, pesantren, panti asuhan, dll. Itu diperbolehkan. Syaratnya, dana Zakat harus sampai di tangan yang berhak dulu. Namun untuk membangun sekolah, pesantren, panti asuhan, dll. itu boleh menggunakan dana non Zakat, misalnya infak, sedekah, waqaf, hibah, hadiah, dll.

[11]. Di kalangan masyarakat ada sebuah pemikiran tentang anak yatim. Menurut mereka, “Anak-anak yatim itu cenderung nakal. Mereka selalu membuat masalah. Hal itu membuat hati kami jadi tidak tertarik untuk membantu anak yatim.” Bagaimana dengan pemikiran seperti ini?
Harus dipahami dengan baik, bahwa kenakalan anak yatim itu merupakan AKIBAT dari sebuah keadaan. Ia tidak muncul begitu saja. Mereka nakal, karena kurang mendapat perhatian, kasih-sayang, perlindungan, serta pemenuhan nafkah dari ayahnya, karena sang ayah sudah meninggal. Hal ini malah semakin memperkuat pandangan, bahwa anak yatim sangat membutuhkan PERHATIAN lahir-batin. Tidak hanya pemberian materi saja.
Seperti yang dikatakan oleh Syaikh As Sa’diy ketika menafsirkan Surat Al Baqarah ayat 177, “Maka Allah telah berwasiat kepada hamba-hamba-Nya, dan mewajibkan mereka bersikap ihsan dalam perkara harta anak yatim, agar siapa yang kehilangan ayah-ayah mereka diperlakukan sedemikian sehingga seperti siapa yang tidak kehilangan orangtuanya.” (Tafsir Karimis Rahman, hal. 72. Riyadh, Daarul Mughni, 1999).
Seharusnya, perlakuan kita kepada anak yatim ialah memberikan kepedulian yang sepadan dengan kepedulian ayahnya kepada mereka, jika kita sanggup melakukannya. Bila perhatian itu kecil atau tidak memadai, sangat mungkin akibatnya akan muncul perilaku anak-anak yatim yang nakal. Semoga Allah Ta’ala melindungi dan membimbing anak-anak yatim kaum Muslimin sebaik-baiknya. Semoga pula Allah menolong kita untuk bersikap arif, bijak, dan pemurah kepada anak-anak yatim.
Allahumma amin ya Arhama Rahimin.

Demikian pembahasan tematik dan runut tentang hak anak yatim untuk menerima Zakat. Disini kita bisa memetik beberapa hikmah di balik ketentuan Allah yang tidak mencantumkan secara tegas anak yatim ke dalam 8 golongan penerima Zakat, yaitu sebagai berikut:

[SATU]: anak yatim itu ada yang kaya, mewarisi harta banyak dari orangtuanya, atau mereka berada di bawah pemberian nafkah yang mencukupi dari kerabatnya. Dalam posisi demikian, anak yatim tidak perlu diberi bagian dari Zakat.
[DUA]: bagi anak yatim yang miskin, fakir, muallaf, dalam perjalanan, dll. sesuai criteria 8 kelompok penerima Zakat, mereka lebih AFDHAL untuk menerima Zakat, karena selain membutuhkan, mereka juga yatim.
[TIGA]: bagi semua anak yatim, baik miskin atau kaya, mereka berhak mendapat santunan BATIN dari kaum Muslimin, berupa sikap lembut, perhatian, kasih-sayang, perlindungan, dll. Hal itu sesuai perintah Nabi Saw untuk memperlakukan anak yatim dengan sebaik-baiknya.
[EMPAT]: Secara umum, ajaran sangat peduli dengan nasib kaum yang menderita, khususnya dalam hal ini adalah nasib anak yatim. Maka tidak salah jika Islam disebut sebagai agama Rahmatan Lil ‘Alamiin.

Semoga tulisan ini bermanfaat, khususnya untuk mendukung program pemberdayaan kehidupan anak-anak yatim Muslim-Muslimah di Nusantara ini. Semoga Allah Ar Rahiim mengampuni diriku, memaafkan kesalahanku, serta meridhai sisa umurku. Semoga Allah senantiasa mengampuni dan merahmati kedua orangtuaku, anak-anak yatim kaum Muslimin, para penolong dan pemelihara anak yatim, isteri dan anak keturunanku, kakak-adikku, karib-kerabatku, para sahabatku, para guruku, para penolongku, kaum Mukminin-Mukminat, Muslimin-Muslimat, serta para Mujahidin yang ikhlas berjuang di jalan Allah Ta’ala sampai akhir zaman.

Amin Allahumma amin. Wa shallallah ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in.  Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

Wallahu A’lam bisshawaab.

Minggu, 02 Maret 2014

CERMIN HATI

http://annangws.blogspot.com/2014/03/cermin-hati.html
Ketika sedih dan ketika tidak ada teman yang mau mendengarkanku, aku belajar untuk menikmati keadaan, salah satu caranya adalah melakukan dialog dengan hati kecil, sebuah ruang kecil dalam diri yang Allah karuniakan, sebuah ruang kecil yang banyak mengajarkanku untuk lebih menghargai hidup serta mengingatkan padaku untuk senantiasa belajar mencintai Allah dan Rosulullah tanpa syarat dan ragu, di kala lapang dan sempit…

Suatu hari, aku terserang virus merah jambu, aku jatuh hati pada seorang pria dalam buku (istilah pria yang dikaruniai kelebihan Allah baik segi iman, ilmu maupun fisik yang baik) yang membuatku gak tenang, entah kenapa tiba-tiba aku berjalan mendekati cermin di kamarku, aku melihat bayanganku di cermin, sebuah wajah dengan sebuah senyuman memandangku dengan penuh kasih sayang, itulah sinar dan bayanganku.

“Gadis kecilku kenapa kau bersedih,“ tanyanya.

“Dee… biasalah aku terserang virus merah jambu.." jawabku polos.

“Huffff."

“Sayangku… jika engkau bersedih ingatlah Allah, kembalilah pada tujuan awal dan akhir dari sebuah pengharapan, apa benar pria tersebut yang kau harapkan dalam hidupmu, atau sekedar keinginan…"

“Sesungguhnya kau tertipu dengan apa yang kau inginkan sayang…"

“Kebaikan yang dimiliki pria tersebut adalah titipan Allah, jika Allah berkehendak bisa saja Allah mengambil karunia tersebut, kapanpun Allah mau, jika karunia tersebut diambil apa kau masih mencintainya, jangan terperdaya, jika mencintainya, do’akan kebaikan untuknya agar yang dia miliki bisa menambah bobot kebaikan di bumi ini, dengan itu cintamu tumbuh dalam bentuk yang lain, mungkin dia tak pernah tahu akan do’a tersebut, namun cukuplah Allah yang menjadi saksi cintamu kepadanya…"

“Jika Allah menakdirkan kau dengan dia, insya Allah akan ada sebuah jalan yang akan membawamu untuk dekat dengannya, dan memudahkan cinta kalian serta menyatukan dalam bobot kebaikan bernama pernikahan, tugasmu sekarang adalah bagaimana engkau menjadi muslimah yang kaffah, yang bermanfaat bagi kehidupan…"

“Lagi pula ketika ada pria dalam buku, tak hanya kau yang berharap mendapatkan cinta dari pria tersebut, mungkin 1000 gadis juga mengharapkan hal yang sama denganmu, jika pikiranmu terfokus padanya (untuk memilikinya) kau telah menjadikannya thoghut di hatimu, jika kau melepaskannya karena Allah, insya Allah kau akan mendapat cinta yang lebih besar yakni Cinta Allah, sebuah cinta yang akan menjagamu dalam lapang dan sempit, sebuah cinta yang tiada akan bisa menghalangi…"


Jika seorang laki-laki itu ibarat bintang di langit, maka Allah tak hanya menciptakan satu bintang di langit, Cinta Allah ibarat langit tanpa batas yang menampung berjuta bintang, jika kau mendapati langit di dalam hatimu, maka sesungguhnya engkau bisa mendapatkan bintang apapun yang kau harapkan di dalam dirimu..

Seorang muslimah ibarat mutiara, awalnya dia hanya sekumpulan pasir halus di samudra luas, namun karena kasih sayang Allah, pasir-pasir itu berubah menjadi sebutir keindahan yang sangat bernilai, yang di namakan takwa, dengan takwa inilah kau akan memahami makna dirimu tercipta di dunia ini…


Sayangku...  

Jangan kau sesali jika engkau mencintai seorang hamba, namun jangan sampai cinta tersebut menyebabkan dirimu kehilangan Sang Cinta itu sendiri...

Dengan siapapun pria dalam buku tersebut akan mendapatkan pendamping, ingatlah akan satu hal do’akan kebahagiaan dia dan istrinya tersebut karena sesungguhnya istrinya pria tersebut adalah bentuk dirimu yang lain, karena bukannya seorang muslim satu dg yang lain itu bersaudara, kebahagiaannya adalah kebahagiaanmu. Yang terpenting yakinlah jodoh tak akan tertukar dan k au masih mendapati Allah dalam hatimu..

Semoga Menjadi Inspirasi Kita...

Senin, 17 Februari 2014

SEBAB KITA MEMANG TAK SAMA

http://annangws.blogspot.com/2014/02/sebab-kita-memang-tak-sama.html


"Seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya. Memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti. Memaksakan sepatu besar untuk tapal kecil merepotkan. Kaki-kaki yang nyaman dalam sepatunya akan berbaris rapi-rapi"

Seorang lelaki tinggi besar berlari-lari di tengah padang. Siang itu, mentari seakan didekatkan hingga sejengkal. Pasir membara, ranting-ranting menyala dalam tiupan angin yang keras dan panas. Dan lelaki itu masih berlari-lari. Lelaki itu menutupi wajah dari pasir yang beterbangan dengan surbannya, mengejar dan menggiring seekor anak unta.

Di padang gembalaan tak jauh darinya, berdiri sebuah dangau pribadi berjendela. Sang pemilik, ’Utsman ibn ‘Affan, sedang beristirahat sambil melantunkan Al-Quran, dengan menyanding air sejuk dan buah-buahan. Ketika melihat lelaki nan berlari-lari itu dan mengenalnya,

“Masya Allah” ’Utsman berseru, ”Bukankah itu Amirul Mukminin?!”

Ya, lelaki tinggi besar itu adalah ‘Umar ibn Al Khaththab.

”Ya Amirul Mukminin!” teriak ‘Utsman sekuat tenaga dari pintu dangaunya,

“Apa yang kau lakukan tengah angin ganas ini? Masuklah kemari!”

Dinding dangau di samping Utsman berderak keras diterpa angin yang deras...

”Seekor unta zakat terpisah dari kawanannya. Aku takut Allah akan menanyakannya padaku. Aku akan menangkapnya. Masuklah hai ‘Utsman!” ’Umar berteriak dari kejauhan. Suaranya bersiponggang menggema memenuhi lembah dan bukit di sekalian padang.

“Masuklah kemari!” seru ‘Utsman, “Akan kusuruh pembantuku menangkapnya untukmu!”.

”Tidak!”, balas ‘Umar, “Masuklah ‘Utsman! Masuklah!”

“Demi Allah, hai Amirul Mukminin, kemarilah, Insya Allah unta itu akan kita dapatkan kembali.“

“Tidak, ini tanggung jawabku. Masuklah engkau hai ‘Utsman, anginnya makin keras, badai pasirnya mengganas!”

Angin makin kencang membawa butiran pasir membara. ‘Utsman pun masuk dan menutup pintu dangaunya. Dia bersandar dibaliknya dan bergumam,

”Demi Allah, benarlah Dia & Rasul-Nya. Engkau memang bagai Musa. Seorang yang kuat lagi terpercaya.”

‘Umar memang bukan ‘Utsman. Pun juga sebaliknya. Mereka berbeda, dan masing-masing menjadi unik dengan watak khas yang dimiliki.

‘Umar, jagoan yang biasa bergulat di Ukazh, tumbuh di tengah bani Makhzum nan keras dan bani Adi nan jantan, kini memimpin kaum mukminin. Sifat-sifat itu –keras, jantan, tegas, tanggungjawab dan ringan tangan turun gelanggang dibawa ‘Umar, menjadi ciri khas kepemimpinannya.

‘Utsman, lelaki pemalu, anak tersayang kabilahnya, datang dari keluarga bani ‘Umayyah yang kaya raya dan terbiasa hidup nyaman sentausa. ’Umar tahu itu. Maka tak dimintanya ‘Utsman ikut turun ke sengatan mentari bersamanya mengejar unta zakat yang melarikan diri. Tidak. Itu bukan kebiasaan ‘Utsman. Rasa malulah yang menjadi akhlaq cantiknya. Kehalusan budi perhiasannya. Kedermawanan yang jadi jiwanya. Andai ‘Utsman jadi menyuruh sahayanya mengejar unta zakat itu; sang budak pasti dibebaskan karena Allah dan dibekalinya bertimbun dinar.

Itulah ‘Umar. Dan inilah ‘Utsman. Mereka berbeda...

Bagaimanapun, Anas ibn Malik bersaksi bahwa ‘Utsman berusaha keras meneladani sebagian perilaku mulia ‘Umar sejauh jangkauan dirinya. Hidup sederhana ketika menjabat sebagai Khalifah misalnya.

“Suatu hari aku melihat ‘Utsman berkhutbah di mimbar Nabi ShallaLlaahu ‘Alaihi wa Sallam di Masjid Nabawi,” kata Anas . “Aku menghitung tambalan di surban dan jubah ‘Utsman”, lanjut Anas, “Dan kutemukan tak kurang dari tiga puluh dua jahitan.”

Dalam Dekapan ukhuwah, kita punya ukuran-ukuran yang tak serupa. Kita memiliki latar belakang yang berlainan. Maka tindak utama yang harus kita punya adalah; jangan mengukur orang dengan baju kita sendiri, atau baju milik tokoh lain lagi.

Dalam dekapan ukhuwah setiap manusia tetaplah dirinya. Tak ada yang berhak memaksa sesamanya untuk menjadi sesiapa yang ada dalam angannya.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat tulus pada saudara yang sedang diberi amanah memimpin umat. Tetapi jangan membebani dengan cara membandingkan dia terus-menerus kepada ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat pada saudara yang tengah diamanahi kekayaan. Tetapi jangan membebaninya dengan cara menyebut-nyebut selalu kisah berinfaqnya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat saudara yang dianugerahi ilmu. Tapi jangan membuatnya merasa berat dengan menuntutnya agar menjadi Zaid ibn Tsabit yang menguasai Ibrani dalam empat belas hari.

Sungguh tidak bijak menuntut seseorang untuk menjadi orang lain di zaman yang sama, apalagi menggugatnya agar tepat seperti tokoh lain pada masa yang berbeda. ‘Ali ibn Abi Thalib yang pernah diperlakukan begitu, punya jawaban yang telak dan lucu.

“Dulu di zaman khalifah Abu Bakar dan ‘Umar” kata lelaki kepada ‘Ali, “Keadaannya begitu tentram, damai dan penuh berkah. Mengapa di masa kekhalifahanmu, hai Amirul Mukminin, keadaanya begini kacau dan rusak?”

“Sebab,” kata ‘Ali sambil tersenyum, “Pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar, rakyatnya seperti aku.
Adapun di zamanku ini, rakyatnya seperti kamu!”

Dalam dekapan ukhuwah, segala kecemerlangan generasi Salaf memang ada untuk kita teladani. Tetapi caranya bukan menuntut orang lain berperilaku seperti halnya Abu Bakar, ‘Umar, “Utsman atau ‘Ali.

Sebagaimana Nabi tidak meminta Sa’d ibn Abi Waqqash melakukan peran Abu Bakar, fahamilah dalam-dalam tiap pribadi. Selebihnya jadikanlah diri kita sebagai orang paling berhak meneladani mereka. Tuntutlah diri untuk berperilaku sebagaimana para salafush shalih dan sesudah itu tak perlu sakit hati jika kawan-kawan lain tak mengikuti.

Sebab teladan yang masih menuntut sesama untuk juga menjadi teladan, akan kehilangan makna keteladanan itu sendiri. Maka jadilah kita teladan yang sunyi dalam dekapan ukhuwah.

Ialah teladan yang memahami bahwa masing-masing hati memiliki kecenderungannya, masing-masing badan memiliki pakaiannya dan masing-masing kaki mempunyai sepatunya. Teladan yang tak bersyarat dan sunyi akan membawa damai. Dalam damai pula keteladannya akan menjadi ikutan sepanjang masa.

Selanjutnya, "Seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya. Memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti. Memaksakan sepatu besar untuk tapal kecil merepotkan. Kaki-kaki yang nyaman dalam sepatunya akan berbaris rapi-rapi"

Seorang lelaki tinggi besar berlari-lari di tengah padang. Siang itu, mentari seakan didekatkan hingga sejengkal. Pasir membara, ranting-ranting menyala dalam tiupan angin yang keras dan panas. Dan lelaki itu masih berlari-lari. Lelaki itu menutupi wajah dari pasir yang beterbangan dengan surbannya, mengejar dan menggiring seekor anak unta.

Di padang gembalaan tak jauh darinya, berdiri sebuah dangau pribadi berjendela. Sang pemilik, ’Utsman ibn ‘Affan, sedang beristirahat sambil melantunkan Al-Quran, dengan menyanding air sejuk dan buah-buahan. Ketika melihat lelaki nan berlari-lari itu dan mengenalnya,

“Masya Allah” ’Utsman berseru, ”Bukankah itu Amirul Mukminin?!”

Ya, lelaki tinggi besar itu adalah ‘Umar ibn Al Khaththab.

”Ya Amirul Mukminin!” teriak ‘Utsman sekuat tenaga dari pintu dangaunya,

“Apa yang kau lakukan tengah angin ganas ini? Masuklah kemari!”

Dinding dangau di samping Utsman berderak keras diterpa angin yang deras...

”Seekor unta zakat terpisah dari kawanannya. Aku takut Allah akan menanyakannya padaku. Aku akan menangkapnya. Masuklah hai ‘Utsman!” ’Umar berteriak dari kejauhan. Suaranya bersiponggang menggema memenuhi lembah dan bukit di sekalian padang.

“Masuklah kemari!” seru ‘Utsman, “Akan kusuruh pembantuku menangkapnya untukmu!”.

”Tidak!”, balas ‘Umar, “Masuklah ‘Utsman! Masuklah!”

“Demi Allah, hai Amirul Mukminin, kemarilah, Insya Allah unta itu akan kita dapatkan kembali.“

“Tidak, ini tanggung jawabku. Masuklah engkau hai ‘Utsman, anginnya makin keras, badai pasirnya mengganas!”

Angin makin kencang membawa butiran pasir membara. ‘Utsman pun masuk dan menutup pintu dangaunya. Dia bersandar dibaliknya dan bergumam,

”Demi Allah, benarlah Dia & Rasul-Nya. Engkau memang bagai Musa. Seorang yang kuat lagi terpercaya.”

‘Umar memang bukan ‘Utsman. Pun juga sebaliknya. Mereka berbeda, dan masing-masing menjadi unik dengan watak khas yang dimiliki.

‘Umar, jagoan yang biasa bergulat di Ukazh, tumbuh di tengah bani Makhzum nan keras dan bani Adi nan jantan, kini memimpin kaum mukminin. Sifat-sifat itu –keras, jantan, tegas, tanggungjawab dan ringan tangan turun gelanggang dibawa ‘Umar, menjadi ciri khas kepemimpinannya.

‘Utsman, lelaki pemalu, anak tersayang kabilahnya, datang dari keluarga bani ‘Umayyah yang kaya raya dan terbiasa hidup nyaman sentausa. ’Umar tahu itu. Maka tak dimintanya ‘Utsman ikut turun ke sengatan mentari bersamanya mengejar unta zakat yang melarikan diri. Tidak. Itu bukan kebiasaan ‘Utsman. Rasa malulah yang menjadi akhlaq cantiknya. Kehalusan budi perhiasannya. Kedermawanan yang jadi jiwanya. Andai ‘Utsman jadi menyuruh sahayanya mengejar unta zakat itu; sang budak pasti dibebaskan karena Allah dan dibekalinya bertimbun dinar.

Itulah ‘Umar. Dan inilah ‘Utsman. Mereka berbeda...

Bagaimanapun, Anas ibn Malik bersaksi bahwa ‘Utsman berusaha keras meneladani sebagian perilaku mulia ‘Umar sejauh jangkauan dirinya. Hidup sederhana ketika menjabat sebagai Khalifah misalnya.

“Suatu hari aku melihat ‘Utsman berkhutbah di mimbar Nabi ShallaLlaahu ‘Alaihi wa Sallam di Masjid Nabawi,” kata Anas . “Aku menghitung tambalan di surban dan jubah ‘Utsman”, lanjut Anas, “Dan kutemukan tak kurang dari tiga puluh dua jahitan.”

Dalam Dekapan ukhuwah, kita punya ukuran-ukuran yang tak serupa. Kita memiliki latar belakang yang berlainan. Maka tindak utama yang harus kita punya adalah; jangan mengukur orang dengan baju kita sendiri, atau baju milik tokoh lain lagi.

Dalam dekapan ukhuwah setiap manusia tetaplah dirinya. Tak ada yang berhak memaksa sesamanya untuk menjadi sesiapa yang ada dalam angannya.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat tulus pada saudara yang sedang diberi amanah memimpin umat. Tetapi jangan membebani dengan cara membandingkan dia terus-menerus kepada ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat pada saudara yang tengah diamanahi kekayaan. Tetapi jangan membebaninya dengan cara menyebut-nyebut selalu kisah berinfaqnya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat saudara yang dianugerahi ilmu. Tapi jangan membuatnya merasa berat dengan menuntutnya agar menjadi Zaid ibn Tsabit yang menguasai Ibrani dalam empat belas hari.

Sungguh tidak bijak menuntut seseorang untuk menjadi orang lain di zaman yang sama, apalagi menggugatnya agar tepat seperti tokoh lain pada masa yang berbeda. ‘Ali ibn Abi Thalib yang pernah diperlakukan begitu, punya jawaban yang telak dan lucu.

“Dulu di zaman khalifah Abu Bakar dan ‘Umar” kata lelaki kepada ‘Ali, “Keadaannya begitu tentram, damai dan penuh berkah. Mengapa di masa kekhalifahanmu, hai Amirul Mukminin, keadaanya begini kacau dan rusak?”

“Sebab,” kata ‘Ali sambil tersenyum, “Pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar, rakyatnya seperti aku.
Adapun di zamanku ini, rakyatnya seperti kamu!”

Dalam dekapan ukhuwah, segala kecemerlangan generasi Salaf memang ada untuk kita teladani. Tetapi caranya bukan menuntut orang lain berperilaku seperti halnya Abu Bakar, ‘Umar, “Utsman atau ‘Ali.

Sebagaimana Nabi tidak meminta Sa’d ibn Abi Waqqash melakukan peran Abu Bakar, fahamilah dalam-dalam tiap pribadi. Selebihnya jadikanlah diri kita sebagai orang paling berhak meneladani mereka. Tuntutlah diri untuk berperilaku sebagaimana para salafush shalih dan sesudah itu tak perlu sakit hati jika kawan-kawan lain tak mengikuti.

Sebab teladan yang masih menuntut sesama untuk juga menjadi teladan, akan kehilangan makna keteladanan itu sendiri. Maka jadilah kita teladan yang sunyi dalam dekapan ukhuwah.

Ialah teladan yang memahami bahwa masing-masing hati memiliki kecenderungannya, masing-masing badan memiliki pakaiannya dan masing-masing kaki mempunyai sepatunya. Teladan yang tak bersyarat dan sunyi akan membawa damai. Dalam damai pula keteladannya akan menjadi ikutan sepanjang masa.

Selanjutnya, kita harus belajar untuk menerima bahwa sudut pandang orang lain adalah juga sudut pandang yang absah. Sebagai sesama mukmin, perbedaan dalam hal-hal bukan asasi
tak lagi terpisah sebagai “haq” dan “bathil”. Istilah yang tepat adalah “shawab” dan “khatha”.

Tempaan pengalaman yang tak serupa akan membuatnya lebih berlainan lagi antara satu dengan yang lain.

Seyakin-yakinnya kita dengan apa yang kita pahami, itu tidak seharusnya membuat kita terbutakan dari kebenaran yang lebih bercahaya.

Imam Asy Syafi’i pernah menyatakan hal ini dengan indah. “Pendapatku ini benar,” ujar beliau, ”Tetapi mungkin mengandung kesalahan. Adapun pendapat orang lain itu salah, namun bisa jadi mengandung kebenaran.”

Sepenuh Cinta,..

Senin, 10 Februari 2014

SYAREAT DALAM BER-SYAREAT DAN SYAREAT DALAM BER-MA'RIFATULLAH

http://annangws.blogspot.com/2014/02/syareat-dalam-ber-makrifatullah.html
Al-Quran surat Luqman 27, Allah swt berfirman :

“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut menjadi tinta ditambahkan kepadanya tujuh laut lagi sesudah keringnya, niscaya tidak akan habis–habisnya dituliskan KALIMAT ALLAH, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana"

Para ULAMA secara umum (ULAMA SYAREAT) menafsirkan bahwa yang di maksud dengan KALIMAT ALLAH adalah ILMU-NYA dan HIKMAT-NYA namun berbeda dengan ULAMA BILLAH atau Guru yang menyampaikan Ilmu Ma’rifattullah menafsirkan maksud dari KALIMAT ALLAH adalah penjabaran nama ALLAH yang terdiri dari ALIF, LAM AWAL, LAM AKHIR dan HA yang menjadi pemahaman dasar dalam ILMU MA’RIFATTULLAH...

atau...

~ALIF ibarat DZAT (RAHASIA)... Pada ALAM SEMESTA duduknya di RAHASIA
~LAM AWAL ibarat SIFAT... Pada ALAM SEMESTA duduknya di ILMU
~LAM AKHIR ibarat ASMA... Pada ALAM SEMESTA duduknya di ASMA
~HA ibarat AF'AL... Pada ALAM SEMESTA duduknya di WUJUD

Dengan adanya Metode ini menjadikan MU'MIN sangat mudah untuk menjelaskan tentang FIRMAN-FIRMAN ALLAH SWT yang ada di dalam ALQURAN dan HADIST. Sebagai contoh :

Firman Allah swt, Al-Quran An-Nisa 126, yaitu :

“Kepunyaan Allah apa yang dilangit dan apa yang dibumi dan adalah ALLAH MAHA MELIPUTI SEGALA SESUATU“

Yang di maksud MELIPUTI SEGALA SESUATU itu ada dimana saja di alam semesta ini TIDAK BERJARAK DAN TIDAK TERPISAH ...

Rasulullah saw bersabda :
“Barang siapa melihat kepada sesuatu dan tidak dilihatnya ALLAH didalam sesuatu itu maka penglihatannya itu BATHIL yaitu SIA-SIA“.

Yang selanjutnya di perkuat lagi oleh para sahabat :

1. Sayyidina Abu bakar RA :
"Tidak aku lihat sesuatu melainkan kulihat Allah sebelumnya"

2. Sayyidina Umar RA :
"Tidak aku lihat sesuatu melainkan kulihat ALLAH sesudahnya"

3. Sayyidina USTMAN RA :
"Tidak aku lihat sesuatu melainkan ALLAH besertanya"

4. Sayyidina Ali Karramallahu Wajhahu :
"Tidak aku lihat sesuatu melainkan aku lihat ALLAH didalamnya"

MELEPAS PEMAHAMAN SYAREAT itu BUKAN MELEPAS IBADAH DALAM ILMU SYAREAT yaitu SHOLAT, PUASA, ZAKAT, NAIK HAJI dll... tapi MELEPAS PEMAHAMAN SYAREAT itu mengganti dengan PEMAHAMAN HAKEKAT agar bisa masuk ke PEMAHAMAN ILMU MA'RIFATTULLAH...

MELEPAS PEMAHAMAN SYAREAT TERDIRI DARI 2 FASE, yaitu :

1. FASE ketika seseorang pertama kali MENERIMA PANGGILAN JIWA untuk belajar dan menerima pemahaman ILMU HAKEKAT dan ILMU MA'RIFATTULLAH pada PEMAHAMAN DASAR.

Contoh :

Pemahaman tentang NUR MUHAMMAD itu TIDAK ADA DIDALAM ILMU SYAREAT karena seluruh HADIST-HADISTNYA DINYATAKAN PALSU. Namun Pemahaman tentang NUR MUHAMMAD YANG DI IBARATKAN BAGAI PERMATA YANG TERPENDAM hanya ada di ILMU HAKEKAT yang disampaikan oleh para ULAMABILLAH...

Maka...

Ketika anda bisa menerima Pemahaman tentang NUR MUHAMMAD maka pada saat itulah anda sudah melepas PEMAHAMAN SYAREAT

2. FASE ketika seseorang akan DITARIK MASUK KEDALAM RAHASIA ALLAH SWT... bahkan MELEPAS SELURUH PEMAHAMAN ILMU BAIK SYAREAT, TAREKAT ATAUPUN HAKEKAT.

Pada FASE ini seseorang akan mengalami FASE BLANK atau terjadi CUCI OTAK secara GAIB terlebih dahulu agar dapat menerima ISI dari RAHASIA DAN DI RAHASIAKAN... sebagaimana yang terjadi pada NABI MUHAMMAD SAW yang di OPERASI oleh Malaikat sebelum melakukan perjalanan ISRA dan MI'RAJ dengan KECEPATAN CAHAYA. (1 kecepatan cahaya = 300.000 km/detik)

Jadi...

TIDAK ADA SATUPUN MANUSIA YANG BISA MELEPAS PEMAHAMAN SYAREATNYA kecuali atas KEHENDAK ALLAH SWT sebagai Hamba yang dipilih dan terpilih... itu sebabnya umat Islam yang masih duduk di PEMAHAMAN SYAREAT TIDAK AKAN BISA MENERIMA tentang MELEPAS PEMAHAMAN SYAREAT karena TIDAK PERNAH MENGALAMINYA DAN TIDAK ADA TERTULIS DI DALAM ALQURAN DAN HADIST SAHIH...

Jika di Ibaratkan...

NABI MUSA AS memakai TEROMPAH atau SANDAL (SYAREAT) ketika pergi ke LEMBAH TUWA (Tempat ALLAH SWT berada)... Lalu NABI MUSA AS diperintahkan untuk melepaskan TEROMPAHNYA (SYAREAT)... karena berada di tempat yang SUCI (HAKEKAT)... lalu NABI MUSA AS menerima wahyu dari ALLAH SWT (MA'RIFATTULLAH)...

Lalu TAREKAT nya dimana ? Cara MELEPAS TEROMPAH atau SANDAL itulah TAREKAT nya...

Dalam Pemahaman ILMU SYAREAT, AL-QURAN dan HADIST SAHIH yang TERTULIS menjadi PEDOMAN atau RUJUKAN dalam mengambil sebuah keputusan tertentu.

Namun...

Dalam ILMU MA'RIFATTULLAH pada PEMAHAMAN YANG RAHASIA DAN DIRAHASIAKAN TIDAK ADALAGI AL-QURAN dan HADIST YANG TERTULIS... tergantikan oleh ALLAH SWT LANGSUNG...

Dari ‘Ady Ibni Hatim beliau berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda :
“Seseorang diantara kamu akan bercakap-cakap dengan TUHANNYA tanpa ada penterjemah dan dinding yang mendindinginya“ (HR.BUKHARI)

Menjadi RAHASIA dan DIRAHASIAKAN karena KESELURUHAN PEMAHAMAN ILMU-NYA BERTENTANGAN DENGAN ALQURAN DAN HADIST YANG TERTULIS...

Abu Huraira R.A :
"Aku telah hafal dari Rasulullah dua macam ilmu : Pertama Ialah Ilmu yang Aku Di Anjurkan Untuk Menyebarluaskan (Mengajarkan) kepada Sekalian Manusia. Dan Yg Kedua Ialah Ilmu yang Aku Tidak Di Perintahkan Untuk Menyebarluaskan (mengajarkan) kepada Manusia. Maka Apabila Ilmu Ini Aku Sebarluaskan Niscaya Engkau Sekalian Akan Memotong Leherku.“ (HR.Thabrani)

Dan lagi berkata Sayyidina Ali bin abi Thalib Ra :
“Ya Tuhanku, mutiara sesuatu ilmu itu jikalau aku nyatakan dengan berterus terang niscaya akan dikatakan orang kepada aku : Engkau (Ali) adalah orang yang menyembah berhala. Dan sesungguhnya ada orang-orang Islam yang menghalalkan darahku. Mereka itu melihat perbuatan yang paling jahat yang mereka lakukan itu sebagai Perbuatan baik”

Itu sebabnya ILMU SYAREAT TIDAK BISA BERJALAN BERIRINGAN DENGAN ILMU MA'RIFATTULLAH pada PEMAHAMAN YANG RAHASIA DAN DI RAHASIAKAN...

Maka...

LEPASKANLAH TEROMPAHMU ATAU SANDALMU... ATAU JANGAN TERPAKU PADA PEMAHAMAN SYAREAT SEMATA... jika ingin tahu ISI dari yang RAHASIA DAN DIRAHASIAKAN...

Dalam Al-Quran di kisahkan bahwa NABI MUSA AS menerima WAHYU ...

Al-Quran surat THAHA 11-12 :
“Maka ketika ia datang ketempat api itu ia di panggil, Hai Musa...” Sesungguhnya aku inilah Tuhanmu, maka tinggalkanlah kedua terompahmu (Sandal), sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, TUWA“

Dalam Pemahaman ILMU SYAREAT maka NABI MUSA AS sebelum menerima wahyu di perintahkan untuk MELEPAS SANDALNYA karena sedang berada di tempat yang SUCI yaitu TUWA...

Namun...

Dalam Pemahaman ILMU HAKEKAT bukanlah SANDAL yang dipakai dan diinjak oleh NABI MUSA AS yang di lepaskan... tetapi melepas Akal dan ilmu (Syareat) atau bisa juga di artikan melepas NAFSU sehingga pasrah sepenuhnya atas ketentuan Allah swt laksana BAYI...

Yang juga berarti tidak lagi berpedoman pada sesuatu termasuk pada GURU atau bahkan Al-Quran dan Hadist yang TERTULIS kecuali hanya pada ALLAH Swt semata dengan KEYAKINAN YANG SEMPURNA serta tidak lagi mengakui keberadaan dirinya dan tak merasa memiliki apapun layaknya seorang BAYI yang tak memiliki dan tak mampu berbuat apapun sebagaimana yang diisyaratkan dalam hadist ;

Raslullah Saw bekata kepada Ibnu Mas’ud R.a :
"Hai Ibnu Mas’ud, tahukah anda tafsirnya kalimat LA HAWLA WA LA QUWATA ILLA BILLAH ?"
Aku (Ibnu Mas’ud) menjawab : Tidak.
Lalu Rasulullah Saw berkata : “Tidak ada daya menolak Maksiat, dan tidak ada kekuatan untuk taat kepada Allah melainkan dengan pertolongan-NYA juga."
Kemudian dipukulnya pahaku dengan tangan Beliau seraya berkata : "Demikian tafsirnya yang diberitahukan Jibril kepadaku" (Sirajut-Tholibin)

Atau jika di sederhanakan...

Jika kita ingin MASUK KE ISTANA PRESIDEN maka kita harus mengikuti aturan yang berlaku di ISTANA PRESIDEN tersebut dan melepaskan kebiasaan atau aturan yang biasa dipakai DIRUMAH SENDIRI, itulah yang dimaksud : "Tinggalkanlah kedua terompahmu (Sandal)“

Itulah sebabnya ada istilah...

SYAREAT dalam BER SYAREAT... atau ATURAN dalam BER SYAREAT...
SYAREAT dalam BER TAREKAT... atau ATURAN dalam BER TAREKAT...
SYAREAT dalam BER HAKEKAT... atau ATURAN dalam BER HAKEKAT...
SYAREAT dalam BER MA'RIFATTULLAH... atau ATURAN dalam BER MA'RIFATTULLAH...

Jadi...

JANGAN MENGGUNAKAN ATURAN BERSYAREAT jika ingin belajar dan memahami ILMU MA'RIFATTULLAH... karena SAMPAI KIAMAT tidak akan NYAMBUNG... tapi pakailah SYAREAT dalam BER MA'RIFATTULLAH yaitu melalui PEMAHAMAN ILMU HAKEKAT...

Semoga bisa menjadi bahan untuk Tafaqur


Sabtu, 08 Februari 2014

KISAH ANTARA SIPUT DAN KATAK

http://annangws.blogspot.com/2014/02/kisah-antara-siput-dan-katak.html
Tersebutlah seekor siput yang selalu memandang sinis terhadap katak.

Suatu hari, katak yang memang telah lama penasaran akhirnya bertanya kepada siput:

"Tuan siput, apakah saya telah melakukan kesalahan, sehingga Anda begitu membenci saya?"

Siput menjawab:  "Kalian kaum katak mempunyai empat kaki dan bisa melompat ke sana ke mari, tapi saya mesti membawa cangkang yang berat ini, merangkak di tanah, jadi saya merasa sangat sedih."

Katak menjawab:  "Setiap kehidupan memiliki penderitaannya masing-masing, hanya saja kamu cuma melihat kegembiraan saya, tetapi kamu tidak melihat penderitaan kami (katak)."

Dan ketika itu, ada seekor elang besar yang terbang ke arah mereka, siput dengan sigap memasukan badannya ke dalam cangkang, sedangkan katak berusaha menghindar melompat kesana kemari sekuat daya... namun tetap saja pada akhirnya katak dimangsa oleh elang...

siputpun tersadar... ternyata cangkang yang di milikinya bukan merupakan suatu beban... tetapi adalah kelebihannya...

Sahabat yang dirahmati Allah Ta'ala... Nikmatilah kehidupanmu, tidak perlu membanding bandingkan dengan orang lain. Keirian hati kita terhadap orang lain akan membawa lebih banyak penderitaan...
Lebih baik pikirkanlah apa yang kita miliki, hal tersebut akan membawakan lebih banyak rasa syukur & kebahagiaan bagi kita sendiri...

BERKAH tidak selalu berupa emas, intan permata atau uang yg banyak bukan pula saat kita tinggal dirumah mewah dan pergi bermobil.

*Namun BERKAH adalah saat kita kuat dalam keadaan putus asa dan tetap BERSYUKUR saat tak punya apa-apa...

*Bisa tetap TERSENYUM saat diremehkan...

Semoga Manfaat