Hukum Berkumpul Dan Membaca Al-Qur'an Serta Dzikir Untuk Mayit
Mengadakan pertemuan atau perkumpulan untuk membaca Tahlil, seperti yang biasa dilakukan oleh masyarakat di berbagai tempat dengan membaca Al-Qur'an, Sholawat, Istighfar dan Dzikir yang pahalanya dihadiahkan kepada orang muslim yang telah meninggal adalah BOLEH, BAIK dan BENAR !!!
Al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani berkata : "Kebiasaan di sebagian negara mengenai perkumpulan atau pertemuan di masjid, rumah, diatas kubur untuk membaca Al-Qur'an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia tidak diragukan lagi hukumnya boleh (Jaiz), jika di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan dan kemungkaran meskipun tidak ada penjelasan (secara dzahir) dari syari'at. Kegiatan melaksanakan perkumpulan itu pada dasarnya bukanlah sesuatu yang haram (muharram fi nafsih). Apalagi jika didalamnya diisi dengan kegiatan yang dapat menghasilkan ibadah seperti membaca Al-Qur'an atau lainnya. Dan tidaklah tercela menghadiahkan pahala membaca Al-Qur'an atau lainnya kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadits shahih seperti "Bacalah surat Yasin kepada orang mati diantara kamu". Tidak ada bedanya apakah pembacaan surat Yasin tersebut dilakukan bersama sama didekat mayit atau diatas kuburnya, dan membaca Al-Qur'an secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di masjid atau di rumah.
(Al-Rasa'il Al-Salafiyah, hal 46)
BUKAN BID'AH
Selanjutnya Al-Syaukani menyampaikan : "Para sahabat juga mengadakan perkumpulan di rumah-rumah mereka atau di dalam masjid, melagukan syair-syair, mendiskusikan hadist dan kemudian mereka makan dan minum, padahal di tengah-tengah mereka ada Nabi saw. Orang yang berpendapat bahwa melaksanakan perkumpulan yang di dalamnya tidak terdapat perbuatan-perbuatan haram adalah bid’ah, maka ia salah, karena sesungguhnya bid’ah adalah sesuatu yang dibuat-buat dalam masalah agama, sedangkan perkumpulan ini (semacam tahlil), tidak termasuk bid’ah (membuat ibadah baru)."
(Al-Rasa’il Al-Salafiyah, hal. 46)
MEMBACA AL-QUR'AN DAN DZIKIR
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu rumah Allah, mereka membacakan kitabullah dan mempelajarinya, kecuali turun kepada mereka ketenangan, dan rahmat menyelimuti mereka, para malaikat mengelilingi mereka dan Allah memuji mereka di hadapan makhluk yang ada didekatnya. Barangsiapa yang kurang amalannya, maka nasabnya tidak mengangkatnya."
Hadits ini merupakan potongan dari hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah oleh :
• Muslim, dalam Shahihnya, Kitab Adz Dzikir Wad Du’a, Bab Fadhlul Ijtima’ ‘Ala Tilawatil Qur’an Wa ‘Ala Dzikr, nomor 6793, juz 17/23. (Lihat Syarah An Nawawi).
• Abu Daud dalam Sunannya, Kitabul Adab, Bab Fil Ma’unah Lil Muslim nomor 4946.
• Ibnu Majah dalam Sunannya, Muqaddimah, Bab Fadhlul Ulama Wal Hatsu ‘Ala Thalabul Ilmi nomor 225.
PAHALA SAMPAI KEPADA MAYIT
Seorang mukmin seharusnya tidak perlu ragu terhadap kasih sayang dan kekuasaan Allah SWT. Kalau hanya untuk menyampaikan pahala kepada orang yang telah meninggal dunia tentu saja itu hal yang sangat mudah bagi Allah SWT. Dan perlu diingat bahwa Ukhuwah Islamiyyah (persaudaraan diantara umat Islam) tidak akan terputus karena kematian.
Imam Al-Syafi’i ra, berkata : "Tentang do’a, maka sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan hamba-hambanya untuk berdo’a kepada-Nya, bahkan juga memerintahkan kepada Rasul-Nya. Apabila Allah SWT memperkenankan umat Islam berdo’a untuk saudaranya yang masih hidup, maka tentu diperbolehkan juga berdo’a untuk saudaranya yang telah meninggal dunia. Dan barokah do’a tersebut Insya Allah akan sampai. Sebagaimana Allah SWT Maha Kuasa memberi pahala bagi orang yang hidup, Allah juga Maha Kuasa untuk memberikan manfaatnya kepada mayit."
(Diriwayatkan dari Al-Baihaqi dalam kitab Manaqib Al-Syafi’i, juz I, hal. 430)
Syah Waliyullah Al-Dahlawi mengatakan : "Termasuk perbuatan sunnah (untuk mendo’akan orang mati) adalah membaca surat Al-Fatihah, karena ia merupakan do’a yang paling baik dan paling luas cakupannya. Allah SWT telah mengajarkan hamba-hamba-Nya dalam kitab suci Al-Qur’an. Diantara do’a Nabi saw. yang terkenal bagi mayat adalah (do’a yang artinya) “Yaa Allah ampunilah orang yang masih hidup dan orang yang sudah mati di antara kami,…"
(Hujjatullah Al-Balighah, juz II, hal. 93)
Ketika membaca surat Al-Fatihah dianjurkan didahului dengan pengkhususan, sebagaimana fatwa Sayyid Al-‘Allamah Abdullah bin Husain Balfaqih : "Bahwa yang lebih utama bagi orang yang membaca surat Al-Fatihah bagi seseorang adalah dengan mengucapkan ila ruhi fulan bin fulan (kepada ruh fulan bin fulan) sebagaimana tradisi yang berlaku. (Hal itu lebih utama diucapkan) karena ruh itu tetap ada sementara tubuh itu hancur."
(Bughyatul Mustarsyidin hal. 98).
TIDAK BERTENTANGAN DENGAN FIRMAN ALLAH SWT
Persoalan ini sesungguhnya telah dijawab dengan tuntas oleh Al-Imam Syamsuddin Abi Abdilah ibnu Qayyim Al-Jauziyyah lebih dari 600 tahun yang lalu. Beliau berkata : "Pendapat yang mengatakan bahwa hadits (yang menyatakan sampainya hadiah pahala kepada orang mati) itu bertentangan dengan firman Allah SWT (Al-Najm 39) 'Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya'. Adalah cerminan sikap yang kurang sopan didalam ungkapannya dan salah besar dalam mengartikannya. Allah SWT telah menjaga agar tidak terjadi kontradiksi antara Hadits denga Al-Qur'an. Bahkan Hadits Nabi SAW merupakan penguat ayat-ayat Al-Qur'an. Kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa hadits tersebut bertolak belakang dengan Al-Qur'an, maka itu berasal dari buruknya pemahaman. Dan hal itu adalah cara yang tidak baik yakni menolah hadits yang sudah jelas dengan dzahir ayat Al-Qur'an (yang disalah pahami)
TUJUH HARI DALAM TAHLILAN
Asal-usul istilah tujuh hari dalam tahlilan mengikuti amal yang dicontohkan sahabat Nabi saw. Imam Ahmad bin Hanbal ra. dalam kitab Al-Zuhd, sebagaimana yang dikutip oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al-Hawi li Al-Fatawi : Hasyim bin Al-Qasim meriwayatkan kepada kami, ia berkata, Al-Asyja’i meriwayatkan kepada kami dari Sufyan, ia berkata, Imam Thawus berkata ; "Orang yang meninggal dunia diuji selama tujuh hari di dalam kubur mereka, maka kemudian para kalangan salaf mensunnahkan bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari itu."
(Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal. 178).
Kebiasaan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan kebiasaan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman Imam Suyuthi, sekitar abad IX Hijriyah) di Makkah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi saw. sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (masa sahabat Nabi saw.). (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal. 194).
DZIKIR FIDA’ ATAU SYARWA
Dzikir Fida’ (tebusan) didasarkan dari tuntunan sebuah hadist : Rasulullah saw. bersabda ; "Barangsiapa mengucapkan lailaha illallah sejumlah 71 ribu, berarti orang tersebut telah menebus dirinya dari Allah Azza wa Jalla. Demikian pula jika hal itu dilakukan untuk orang lain."
(Hadist ini diriwayatkan oleh Abu Sa’id dan Aisyah ra.). (Khazinatul Asrar, hal 188).
Alhasil membaca dzikir lailaha illallah sejumlah 71 ribu, disebut sebagai dzikir fida’ (tebusan). Oleh karena itu janganlah merisaukan soal hukumnya dzikir fida’ tersebut.
Syarwa Kubro dengan membaca surat Al-Ikhlas sebanyak 100 ribu kali kemudian dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, didasarkan kepada hadist Nabi saw : Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa yang membaca (surat Al-Ikhlas) seratus ribu kali, maka ia telah menebus dirinya kepada Allah SWT. Kemudian ada sebuah seruan dari sisi Allah SWT di langit dan bumi-Nya ; Ingatlah, sesungguhnya si fulan telah dibebaskan oleh Allah SWT dari api nereka, maka barangsiapa mempunyai tanggungan dosa kepadanya, maka menuntutlah kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
(Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dari Anas bin malik, lihat Tuhfah Al-Murid ‘Ala Jauharah Al-Tauhid, hal. 140)
Semoga Bermanfaat - Salam Ukhuwah Fillah
Al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani berkata : "Kebiasaan di sebagian negara mengenai perkumpulan atau pertemuan di masjid, rumah, diatas kubur untuk membaca Al-Qur'an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia tidak diragukan lagi hukumnya boleh (Jaiz), jika di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan dan kemungkaran meskipun tidak ada penjelasan (secara dzahir) dari syari'at. Kegiatan melaksanakan perkumpulan itu pada dasarnya bukanlah sesuatu yang haram (muharram fi nafsih). Apalagi jika didalamnya diisi dengan kegiatan yang dapat menghasilkan ibadah seperti membaca Al-Qur'an atau lainnya. Dan tidaklah tercela menghadiahkan pahala membaca Al-Qur'an atau lainnya kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadits shahih seperti "Bacalah surat Yasin kepada orang mati diantara kamu". Tidak ada bedanya apakah pembacaan surat Yasin tersebut dilakukan bersama sama didekat mayit atau diatas kuburnya, dan membaca Al-Qur'an secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di masjid atau di rumah.
(Al-Rasa'il Al-Salafiyah, hal 46)
BUKAN BID'AH
Selanjutnya Al-Syaukani menyampaikan : "Para sahabat juga mengadakan perkumpulan di rumah-rumah mereka atau di dalam masjid, melagukan syair-syair, mendiskusikan hadist dan kemudian mereka makan dan minum, padahal di tengah-tengah mereka ada Nabi saw. Orang yang berpendapat bahwa melaksanakan perkumpulan yang di dalamnya tidak terdapat perbuatan-perbuatan haram adalah bid’ah, maka ia salah, karena sesungguhnya bid’ah adalah sesuatu yang dibuat-buat dalam masalah agama, sedangkan perkumpulan ini (semacam tahlil), tidak termasuk bid’ah (membuat ibadah baru)."
(Al-Rasa’il Al-Salafiyah, hal. 46)
MEMBACA AL-QUR'AN DAN DZIKIR
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu rumah Allah, mereka membacakan kitabullah dan mempelajarinya, kecuali turun kepada mereka ketenangan, dan rahmat menyelimuti mereka, para malaikat mengelilingi mereka dan Allah memuji mereka di hadapan makhluk yang ada didekatnya. Barangsiapa yang kurang amalannya, maka nasabnya tidak mengangkatnya."
Hadits ini merupakan potongan dari hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah oleh :
• Muslim, dalam Shahihnya, Kitab Adz Dzikir Wad Du’a, Bab Fadhlul Ijtima’ ‘Ala Tilawatil Qur’an Wa ‘Ala Dzikr, nomor 6793, juz 17/23. (Lihat Syarah An Nawawi).
• Abu Daud dalam Sunannya, Kitabul Adab, Bab Fil Ma’unah Lil Muslim nomor 4946.
• Ibnu Majah dalam Sunannya, Muqaddimah, Bab Fadhlul Ulama Wal Hatsu ‘Ala Thalabul Ilmi nomor 225.
PAHALA SAMPAI KEPADA MAYIT
Seorang mukmin seharusnya tidak perlu ragu terhadap kasih sayang dan kekuasaan Allah SWT. Kalau hanya untuk menyampaikan pahala kepada orang yang telah meninggal dunia tentu saja itu hal yang sangat mudah bagi Allah SWT. Dan perlu diingat bahwa Ukhuwah Islamiyyah (persaudaraan diantara umat Islam) tidak akan terputus karena kematian.
Imam Al-Syafi’i ra, berkata : "Tentang do’a, maka sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan hamba-hambanya untuk berdo’a kepada-Nya, bahkan juga memerintahkan kepada Rasul-Nya. Apabila Allah SWT memperkenankan umat Islam berdo’a untuk saudaranya yang masih hidup, maka tentu diperbolehkan juga berdo’a untuk saudaranya yang telah meninggal dunia. Dan barokah do’a tersebut Insya Allah akan sampai. Sebagaimana Allah SWT Maha Kuasa memberi pahala bagi orang yang hidup, Allah juga Maha Kuasa untuk memberikan manfaatnya kepada mayit."
(Diriwayatkan dari Al-Baihaqi dalam kitab Manaqib Al-Syafi’i, juz I, hal. 430)
Syah Waliyullah Al-Dahlawi mengatakan : "Termasuk perbuatan sunnah (untuk mendo’akan orang mati) adalah membaca surat Al-Fatihah, karena ia merupakan do’a yang paling baik dan paling luas cakupannya. Allah SWT telah mengajarkan hamba-hamba-Nya dalam kitab suci Al-Qur’an. Diantara do’a Nabi saw. yang terkenal bagi mayat adalah (do’a yang artinya) “Yaa Allah ampunilah orang yang masih hidup dan orang yang sudah mati di antara kami,…"
(Hujjatullah Al-Balighah, juz II, hal. 93)
Ketika membaca surat Al-Fatihah dianjurkan didahului dengan pengkhususan, sebagaimana fatwa Sayyid Al-‘Allamah Abdullah bin Husain Balfaqih : "Bahwa yang lebih utama bagi orang yang membaca surat Al-Fatihah bagi seseorang adalah dengan mengucapkan ila ruhi fulan bin fulan (kepada ruh fulan bin fulan) sebagaimana tradisi yang berlaku. (Hal itu lebih utama diucapkan) karena ruh itu tetap ada sementara tubuh itu hancur."
(Bughyatul Mustarsyidin hal. 98).
TIDAK BERTENTANGAN DENGAN FIRMAN ALLAH SWT
Persoalan ini sesungguhnya telah dijawab dengan tuntas oleh Al-Imam Syamsuddin Abi Abdilah ibnu Qayyim Al-Jauziyyah lebih dari 600 tahun yang lalu. Beliau berkata : "Pendapat yang mengatakan bahwa hadits (yang menyatakan sampainya hadiah pahala kepada orang mati) itu bertentangan dengan firman Allah SWT (Al-Najm 39) 'Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya'. Adalah cerminan sikap yang kurang sopan didalam ungkapannya dan salah besar dalam mengartikannya. Allah SWT telah menjaga agar tidak terjadi kontradiksi antara Hadits denga Al-Qur'an. Bahkan Hadits Nabi SAW merupakan penguat ayat-ayat Al-Qur'an. Kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa hadits tersebut bertolak belakang dengan Al-Qur'an, maka itu berasal dari buruknya pemahaman. Dan hal itu adalah cara yang tidak baik yakni menolah hadits yang sudah jelas dengan dzahir ayat Al-Qur'an (yang disalah pahami)
TUJUH HARI DALAM TAHLILAN
Asal-usul istilah tujuh hari dalam tahlilan mengikuti amal yang dicontohkan sahabat Nabi saw. Imam Ahmad bin Hanbal ra. dalam kitab Al-Zuhd, sebagaimana yang dikutip oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al-Hawi li Al-Fatawi : Hasyim bin Al-Qasim meriwayatkan kepada kami, ia berkata, Al-Asyja’i meriwayatkan kepada kami dari Sufyan, ia berkata, Imam Thawus berkata ; "Orang yang meninggal dunia diuji selama tujuh hari di dalam kubur mereka, maka kemudian para kalangan salaf mensunnahkan bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari itu."
(Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal. 178).
Kebiasaan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan kebiasaan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman Imam Suyuthi, sekitar abad IX Hijriyah) di Makkah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi saw. sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (masa sahabat Nabi saw.). (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal. 194).
DZIKIR FIDA’ ATAU SYARWA
Dzikir Fida’ (tebusan) didasarkan dari tuntunan sebuah hadist : Rasulullah saw. bersabda ; "Barangsiapa mengucapkan lailaha illallah sejumlah 71 ribu, berarti orang tersebut telah menebus dirinya dari Allah Azza wa Jalla. Demikian pula jika hal itu dilakukan untuk orang lain."
(Hadist ini diriwayatkan oleh Abu Sa’id dan Aisyah ra.). (Khazinatul Asrar, hal 188).
Alhasil membaca dzikir lailaha illallah sejumlah 71 ribu, disebut sebagai dzikir fida’ (tebusan). Oleh karena itu janganlah merisaukan soal hukumnya dzikir fida’ tersebut.
Syarwa Kubro dengan membaca surat Al-Ikhlas sebanyak 100 ribu kali kemudian dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, didasarkan kepada hadist Nabi saw : Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa yang membaca (surat Al-Ikhlas) seratus ribu kali, maka ia telah menebus dirinya kepada Allah SWT. Kemudian ada sebuah seruan dari sisi Allah SWT di langit dan bumi-Nya ; Ingatlah, sesungguhnya si fulan telah dibebaskan oleh Allah SWT dari api nereka, maka barangsiapa mempunyai tanggungan dosa kepadanya, maka menuntutlah kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
(Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dari Anas bin malik, lihat Tuhfah Al-Murid ‘Ala Jauharah Al-Tauhid, hal. 140)
Semoga Bermanfaat - Salam Ukhuwah Fillah
Judul: Hukum Berkumpul Dan Membaca Al-Qur'an Serta Dzikir Untuk Mayit
Rating: 100% based on 99998 ratings. 4.5 user reviews.
By Unknown
Terimakasih Atas Kunjungan Sahabat... Silahkan tulis kritik dan saran di kotak komentar
Barakallahu Fiikum
Rating: 100% based on 99998 ratings. 4.5 user reviews.
By Unknown
Terimakasih Atas Kunjungan Sahabat... Silahkan tulis kritik dan saran di kotak komentar
Barakallahu Fiikum